Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 28, 2011

Apakah Quran Wahyu Ilahi - Part B-2

Jay Smith : Apakah Quran Wahyu Ilahi

Apakah Quran Wahyu Ilahi

Oleh : Jay Smith
diterjemahkan oleh Badranaya , Netter FFI Indonesia.

B. Masalah-masalah dalam Tradisi Islam

B.2. Kemunculan Yang Begitu Terlambat 

Jelas, pertanyaan pertama yang harus kita pertanyakan adalah mengapa tradisi ini ditulis begitu terlambat, yakni 150-300 tahun setelah kejadian? Kita sama sekali tidak memiliki “catatan dari komunitas Islam selama 150 tahun pertama , antara penaklukan Arab pertama, yakni dari awal abad ketujuh, hingga kemunculan komunitas islam, dengan narasi sira-maghazi, sebagai awal literatur Islam, yakni di akhir abad kedelapan (Wansbrough 1978:119). Kita seharusnya berharap untuk menemukan dalam masa 150 tahun itu setidaknya sisa-sisa bukti pengembangan agama Arab tua menuju Islam, namun kita menemukan apa-apa (Nevo 1994:108; Crone 1980:5-8) .

Ada Muslim yang tidak setuju dengan fakta di atas, dengan tetap mempertahankan bahwa ada bukti tradisi sebelumnya, utamanya Muwatta oleh Malik ibn Anas (lahir 712 M dan meninggal pada 795 M). Norman Calder dalam bukunya Study in Early Muslim Jurisprudence tidak setuju dengan penanggalan awal seperti itu dan banyak pertanyaan menyangkut karya tersebut dapat dikaitkan dengan penulis-penulis yang disebutkan di situ. Dia berpendapat bahwa sebagian besar teks yang kita miliki dari para penulis ini ,yang dianggap sebagai penulis islam awal, adalah "kumpulan teks" yang ditransmisikan dan dikembangkan selama beberapa generasi, dan mencapai bentuk yang kita ketahui lebih terkemudian sebagai karya dari "penulis" yang disangkakan, yaitu mereka yang dianggap menulis kisah-kisah itu.

Dengan mengikuti anggapan bahwa saat itu "aliran Syafi'i" (yang menuntut bahwa semua hadis ditelusuri kepada Muhammad) belum berlaku sampai setelah 820 M, ia menyimpulkan bahwa karena Mudawwana tidak berbicara tentang otoritas kenabian Muhammad sedangkan Muwatta tidak. Muwatta selayaknya jadi dokumen yang terkemudian. Akibatnya, posisi Calder Muwatta harusnya hadir sebelum tahun 795 M, tapi kadang setelah Mudawwana yang ditulis pada tahun 854 M. Kenyataannya Calder menempatkan Muwatta bahkan tidak di Arab abad kedelapan namun di Cordoba, Spanyol abad kesebelas (Calder 1993). Jika ia benar maka kita memang ditinggalkan dengan begitu sedikit bukti dari setiap tradisi dari masa awal Islam.

Humphreys mengkristal masalah ini ketika dia menunjukkan bahwa, "Kita akan menganggap umat Islam pastilah dilecut sedemikian rupa untuk mencatat prestasi spektakuler mereka, sementara yang kaum terpelajar dan masyarakat perkotaan yang akan segera ditundukkan oleh Islam hampir tidak mengetahui nasib yang akan menimpa mereka "(Humphreys 1991:69). Menurut Humphreys semua yang kita temukan dari periode awal ini merupakan sumber yang, " entah perspektif yang fragmentaris, atau sangat spesifik , atau bahkan eksentrik," benar-benar membatalkan setiap kemungkinan untuk merekonstruksi Islam abad pertama secara memadai (Humphreys 1991: 69). Untuk itu pertanyaan yang harus ditanyakan di sini adalah dari mana para pengumpul kisah nabi di abad 8 & 9 mendapatkan bahan cerita mereka?

Jawabannya adalah bahwa kita tidak tahu. "Bukti yang kita miliki dokumentasi sebelum 750 M hampir seluruhnya terdiri dari kutipan yang agak meragukan dari kompilasi yang dilakukan terkemudian." (Humphreys 1991:80) Akibatnya, kita tidak memiliki bukti yang dapat dipercaya jika tradisi benar-benar berbicara tentang kehidupan Muhammad, atau bahkan Qur'an (Schacht 1949:143-154). Kita diminta untuk percaya bahwa dokumen-dokumen ini, yang ditulis ratusan tahun kemudian, sebagai dokumen yang akurat. Sayangnya kita tidak disajikan dengan bukti kejujuran mereka; di luar isnad - yang tidak lebih dari daftar yang dimaksudkan untuk memberikan nama-nama mereka dari lisan yang ini tradisi diturunkan. Bahkan isnad sendiri kurang dalam dokumentasi pendukung yang dapat digunakan untuk menguatkan otentisitas mereka (Humphreys 1991:81-83), namun dilebih-lebihkan dalam tulisan-tulisan di kemudian hari.

B.2.a. Belum Berkembangnya Tradisi Tulis Menulis ? 

Muslim mempertahankan pandangan bahwa begitu terlambatnya sumber primer dapat dikarenakan budaya tulis menulis belum berkembang luas di daerah terisolasi seperti Arab pada saat itu. Asumsi ini sama sekali tidak berdasar, sebab budaya menulis di atas kertas sudah dimulai jauh sebelum abad ketujuh. Menulis di atas kertas ditemukan pada abad keempat, dan digunakan secara luas di dunia beradab sejak saat itu. Dinasti Umayyah bermarkas di daerah Siria, bekas provinsi Bizantium, dan bukan di Arab. Siria saat itu adalah suatu masyarakat yang canggih dimana para sekretaris dipekerjakan untuk tulis menulis di pengadilan Khalifah. Ini membuktikan bahwa budaya menulis naskah sudah dengan baik dikembangkan di sana.

Lebih jauh lagi kita diberitahu bahwa Arab (yang lebih dikenal sebagai Hijaz ) di abad ketujuh dan sebelumnya, adalah daerah perdagangan, dimana rombongan karavan pedagang bolak-balik rute utara-selatan, dan mungkin timur-dan barat. Sementara bukti-bukti menunjukkan bahwa perdagangan terutama bersifat lokal (seperti yang akan kita bahas kemudian). Bagaimana para pedagang menyimpan catatan mereka jika alat tulis menulis tidak tersedia saat itu? Mereka tentu tidak menghafal angka-angka di luar kepala sebagai catatan jual beli mereka bukan?

Dan akhirnya kita harus bertanya : bagaimana Al-Qur'an ada dalam bentuk sekarang jika tidak ada seorangpun yang mampu menggunakan pena dan kertas untuk menulis pada waktu itu?

Muslim mengklaim adanya sejumlah mushaf / naskah Qur'an tidak lama setelah kematian Muhammad, seperti mushaf Abdullah ibn Mas'ud, Abu Musa, dan Ubayy b. Ka'b (Pearson 1986:406). Dalam bentuk apakah mushaf ini jika mereka bukan dokumen tertulis? Teks Usman sendiri harus sudah ditulis, jika tidak maka tidak akan disebut teks! Budaya tulis menulis sudah ada, tapi untuk suatu alasan tertentu, mengapa tidak ada catatan sebelum tahun 750 M yang tersimpan?

B.2.b. Usia Ketahanan Kertas

Sarjana Muslim lain mempertahankan bahwa tidak adanya dokumentasi awal bisa disalahkan pada usia ketahanan kertas. Mereka percaya bahwa bahan atas mana sumber-sumber utama ini ditulis entah hancur dari waktu ke waktu, sehingga yang tersedia pada kita hanya sedikit saja, atau rusak karena perlakuan yang kasar oleh penggunanya sehingga hancur.

Argumen ini agak meragukan, sebab dii British Library kita memiliki cukup banyak contoh dokumen yang ditulis oleh individu dalam masyarakat yang tidak terlalu jauh dari Arab, yang hidup ratusan tahun sebelum Muhammad hidup. Terpampang di museum itu manuskrip Perjanjian Baru seperti Codex Syniaticus dan Codex Alexandrinus, baik yang ditulis pada abad keempat, tiga sampai empat ratus tahun sebelum jaman Muhammad hidup! Mengapa mereka tidak hancur karena usia?

Ketika kita menerapkannya pada Al Qur'an argumen ini sangatlah lemah. Mushaf Usman, yakni kanon Quran terakhir disusun oleh Zaid ibn Thabit, di bawah arahan khalifah ketiga Usman, dianggap oleh semua umat Islam sebagai bagian paling penting dari literatur yang pernah ditulis. Seperti yang kita catat sebelumnya, menurut Surah 43:2-4, Quran adalah "ibu dari semua kitab". Pentingnya Al Qur’an terletak pada keyakinan bahwa ia dianggap sebagai replika yang tepat dari "kitab abadi" yang ada di surga (Surah 85:22). Tradisi Muslim memberitahu kita bahwa semua mushaf dan dokument pesaing lainnya telah dimusnahkan setelah 646-650 M. Bahkan mushaf yang Hafsah simpan, dari mana resensi final Quran diambil, akhirnya dibakar. Jika Mushaf Usmani ini begitu penting, mengapa saat itu tidak ditulis di atas kertas, atau bahan lain yang akan berlangsung sampai hari ini? Dan tentu saja, jika naskah awal robek atau rusak karena penggunaan, mengapa tidak diganti dengan mushaf yang ditulis pada kulit, seperti begitu banyak dokumen lama lainnya yang masih ada saat ini?

Kita sama sekali tidak memiliki bukti untuk teks asli Al Qur’an asli (Schimmel 1984:4). Kita juga tidak memiliki salah satu dari empat salinan yang konon dibuat sebagai resensi ini dan dikirim ke Mekah, Madinah, Basrah dan Damaskus (lihat argumen Gilchrist dalam bukunya Jam’ Al Quran, 1989, hal 140-154, serta Ling & Safadi The Qur'an 1976, hlm 11-17). Bahkan jika salinan tersebut entah bagaimana hancur karena usia, pasti akan ada beberapa fragmen dokumen yang masih kita bisa lihat.

Pada akhir abad ketujuh Islam telah meluas di seluruh Afrika Utara dan sampai ke Spanyol di barat , sampai ke India di timur, dan Al-Qur'an (menurut tradisi) adalah inti dari iman mereka. Tentu saja dalam bahwa lingkup pengaruh sebesar itu harus ada dokumen atau manuskrip Al-Qur'an yang masih eksis sampai hari ini. Namun, tidak ada dari periode itu sama sekali.

Sedangkan kekristenan dapat mengklaim lebih dari 5.300 manuskrip berbahasa Yunani yang dikenal dari Perjanjian Baru, 10.000 dokumen berbahasa Latin Vulgata dan setidaknya 9.300 versi awal lainnya, ditambah lebih dari 24.000 manuskrip Perjanjian Baru yang masih ada (McDowell 1990:43-55), sebagian besar yang ditulis antara 25 sampai 400 tahun setelah kematian Yesus (atau antara abad ke-1 dan ke-5) (McDowell 1972:39-49).

Ironisnya Islam tidak dapat memberikan sebuah naskah tunggal hingga memasuki abad kedelapan (Lings & Safadi 1976:17; Schimmel 1984:4-6). Jika Kristen bisa mempertahankan begitu banyak ribuan naskah kuno, yang semuanya ditulis jauh sebelum abad ketujuh, pada saat kertas belum diperkenalkan, dan berkutat pada ketergantungan pada papirus yang mudah rusak, kemudian orang bertanya-tanya mengapa Muslim tidak mampu meneruskan sebuah naskah tunggal dari periode yang begitu belakangan ini? Kapan saat wahyu sebenarnya diungkapkan? Ini memang menyajikan masalah bagi argumen bahwa semua mushaf Al Qur’an awal hanya hancur karena faktor usia, atau hancur karena mereka usang dipakai.

B.2.c. Dokumen-dokumen Yang Ada Sampai Saat Ini 

Sebagai tanggapan, umat Islam berpendapat bahwa mereka memiliki sejumlah “turunan mushaf Usman,". Salinan asli dari abad ketujuh masih milik mereka. Saya mendengar Muslim mengklaim bahwa ada salinan asli di Mekah, di Kairo dan di hampir setiap komunitas Islam kuno. Saya sering meminta mereka untuk melengkapi dengan data yang akan membuktikan keberadaan naskah kuno mereka, sebuah tugas yang sampai saat ini tak seorang pun telah mampu lakukan..

Bagaimanapun ada dua dokumen yang memiliki kredibilitas, dan banyak dirujuk oleh umat Islam. Ini adalah Naskah Samarkand, yang terletak di Perpustakaan Negara di Tashkent, Uzbekistan (di bagian selatan dari bekas Uni Soviet), dan Naskah Topkapi, yang dapat ditemukan di Museum Topkapi Istanbul, Turki

Kedua dokumen tersebut memang tua, dan telah dilakukan analisis etimologis dan paleografis yang cukup banyak pada dokumen tersebut oleh para scriptologists, serta ahli dalam kaligrafi Arab untuk menjamin diskusi mereka di sini.

Naskah Samarkand – (diambil dari Jam ' Al Quran Gilchrist 1989, pp 148-150) :

Naskah Samarkand ini sama sekali tidak lengkap. Bahkan, dari 114 Surah yang ada dalam Al Qur’an saat ini, hanya bagian dari Surah 2 sampai dengan 43 yang ada di naskah Samarkand ini. Dari sekian Surah yang ada pun banyak teks yang hilang. Inskripsi yang sebenarnya dari teks dalam naskah Samarkand ini menghadirkan masalah nyata, karena sangatlah tidak teratur. Beberapa halaman disalin rapi dan seragam, sementara yang lain tidak rapi dan tidak seimbang (Gilchrist 1989:139 dan 154). Pada beberapa halaman teks cukup luas, sedangkan di halaman lain teksnya ditulis padat berjejalan. Pada jaman itu aksara Arab KAF telah dikecualikan dari teks, sementara pada bagian lain, aksara ini tidak hanya diperluas tetapi menjadi dominan dalam teks. Karena begitu banyak halaman dengan naskah berbeda satu sama lain, maka asumsi kita hari ini adalah bahwa naskah tersebut adalah produk pengumpulan, disusun dari beberapa bagian-bagian naskah yang berbeda (Gilchrist 1989:150).

Juga dalam teks kita dapat menemukan iluminasi artistik antara Surah, biasanya terdiri dari beberapa baris kotak medali sebanyak 151 dengan warna merah, hijau, biru dan oranye. Iluminasi ini membimibing skriptologis untuk memberikan penanggalan akurat asal dokumen tersebut sebagai produk dari abad kesembilan, karena sangat tidak mungkin bahwa hiasan seperti itu muncul di abad ketujuh ketika konon naskah Usman dikirim ke berbagai propinsi (Lings & Safadi 1976:17-20; Gilchrist 1989: 151).

Naskah Topkapi :

Naskah Topkapi di Istanbul, Turki juga ditulis di perkamen, dan tidak memiliki vokalisasi (lihat Gilchrist, 1989, hal.151-153). Seperti naskah Samarkand, naskah inipun dilengkapi dengan medali hias yang menunjukkan usianya yang terkemudian (produk dari abad kesembilan) (Lings & Safadi 1976:17-20).

Muslim menyatakan bahwa ini juga haruslah salah satu salinan asli, jika bukan yang asli yang disusun oleh Zaid ibn Thabit. Namun kita hanya perlu membandingkannya dengan Naskah Samarkand untuk menyadari bahwa kedua naskah ini bukanlah naskah Usman asli. Misalnya, Naskah Istanbul Topkapi memiliki 18 garis per halaman sementara codex Samarkand di Tashkent hanya memiliki antara 8 dan 12 baris per halaman. Naskah Istanbul ditulis seluruhnya dengan cara yang sangat formal, kata-kata dan baris cukup ditulis seragam, sementara naskah Samarkand sering serampangan dan sangat terdistorsi. Kita tidak dapat meyakini bahwa kedua manuskrip disalin oleh para penulis kitab yang sama.
Analisa Naskah :
Para ahli dalam analisa naskah menggunakan tiga tes untuk memastikan usia mereka. Pertama, mereka menguji usia kertas dimana naskah itu ditulis, dengan menggunakan proses kimia seperti penanggalan karbon-14. Metoda ini cukup memadai untuk mengukur usia naskah seperti Al Qur'an. Ketepatan penanggalan biasanya berkisar dalam toleransi + / - 20 tahun. Namun selalu ada keengganan untuk menggunakannya karena jumlah bahan yang harus dihancurkan dalam proses tersebut (1 sampai 3 gram) akan memerlukan hilangnya terlalu banyak naskah. Bentuk yang lebih halus dari carbon-14, yang dikenal sebagai AMS (Accelerator Mass Spectometry) yang sekarang digunakan, hanya membutuhkan 0,5-1,0 mg dari bahan uji (Vanderkam 1994: 17). Namun, sampai saat ini tak satu pun dari naskah ini telah diuji oleh metode ini canggih ini.

Para ahli juga mempelajari tinta naskah dan menganalisis materi non kertasnya. Kemudian menemukan dimana bahan tinta ini berasal, atau apakah ia telah dihapus dan ditimpa. Namun usia untuk dokumen-dokumen ini akan sulit untuk ditentukan karena keterlambatan dokumen. Masalah-masalah ini diperparah oleh tidak diberinya ijin untuk mempelajari naskah ini secara rinci, karena rasa ketakutan dari orang-orang yang menjaga naskah tersebut (pent -jika klaim mereka terbukti salah).

Jadi para spesialis harus pergi menganalisa naskah itu sendiri, menganalisa apakah naskah itu baru atau lama. Penelitian ini lebih dikenal sebagai paleografi. Gaya penulisan naskah terus berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini cenderung seragam sebagai naskah biasanya ditulis oleh ahli tulis kitab profesional. Jadi tulisan tangan cenderung mengikuti konvensi yang berlaku saat itu, dengan hanya modifikasi secara bertahap (Vanderkam 1994:16). Dengan memeriksa tulisan tangan pada naskah tersebut, tanggal penulisaannya sudah bisa diketahui. Paleograper bisa membandingkannya dengan teks dengan tanggal penulisan lainnya dan dengan demikian memastikan dari mana jangka waktu penulisan mereka berasal.
Aksara Kufik :
Apa yang kebanyakan Muslim tidak sadari adalah bahwa kedua naskah ditulis dalam aksara kufik, aksara yang menurut para ahli Al Qur’an modern, seperti Martin Lings dan Yasin Hamid Safadi, tidak pernah muncul sampai akhir abad kedelapan (tahun 790-an s dan kemudian), dan sama sekali tidak digunakan di Mekkah dan Madinah pada abad ketujuh (Lings & Safadi 1976:12-13,17; Gilchrist 1989:145-146, 152-153).

Alasannya cukup sederhana. Pertimbangkan: aksara Kufik, biasanya dikenal sebagai al-Khatt al-Kufi, namanya berasal dari kota Kufah di Irak (Lings & Safadi 1976:17). Akan tampak aneh jika aksara ini dijadikan naskah resmi dari Al Qur'an bahasa Arab, sebab Kufah , aksara yang dari nama kotanya diambil ini, baru ditaklukan 10-14 tahun kemudian. Penting untuk dicatat bahwa kota Kufah, berlokasi di Irak saat ini, adalah sebuah kota yang bercorak Sassanid atau Persia sebelum waktu itu (637-8 M). Jadi, sementara Arab akan telah dikenal di sana, Kufik tidak akan menjadi bahasa dominan, apalagi aksara dominan, sampai lama kemudian.

Pada kenyataannya kita ketahui bahwa aksara Kufik mencapai kesempurnaannya selama abad kedelapan akhir (sampai seratus lima puluh tahun setelah kematian Muhammad) dan setelah itu banyak digunakan di seluruh dunia Muslim (Lings & Safadi 1976:12,17; Gilchrist 1989:145-146). Ini masuk akal, karena setelah tahun 750 M Dinasti Abbasiyah mengendalikan Islam, dan karena mereka berlatar belakang Persia mereka bermarkas di daerah Kufah dan Baghdad. Mereka dengan demikian ingin aksara Kufik mendominasi. Setelah mereka sendiri didominasi oleh Bani Umayyah (yang berbasis di Damaskus) selama sekitar 100 tahun sebelumnya. Sekarang akan cukup dimengerti apabila tulisan bercorak Arab yang berasal di wilayah pengaruh mereka, seperti aksara Kufik, akan berevolusi menjadi apa yang kita temukan dalam dua dokumen yang disebutkan di atas.

Format Lanskap Tulisannya :
Faktor lain yang menunjuk pada tanggal terkemudian dari dua manuskrip tersebut adalah format di mana mereka ditulis. Kita akan mengamati bahwa karena gaya memanjang dari aksara Kufik ini, kedua naskah menggunakan lembaran yang lebih lebar bukannya tinggi. Hal ini dikenal sebagai 'format landskap'. Format dipinjam dari Syria dan dokumen Kristen Irak dari abad kedelapan dan kesembilan. Semua naskah berbahasa Arab sebelumnya selalu ditulis dalam 'format tegak' (terima kasih kepada Dr Hugh Goodacre dari Kantor Koleksi Oriental dan India, yang menunjukkan fakta ini kepada saya untuk debat South Bank).

Oleh karena itu, karena kedua naskah ini ditulis dalam aksara Kufik, dan karena mereka menggunakan format lanskap, adalah masuk akal jika baik Manuskrip Topkapi dan Samarkand tidak mungkin ditulis lebih awal dari 150 tahun setelah jaman naskah Usman, atau seperti perkiraan awal yaitu antara awal akhir thn 700 atau 800-an awal (Gilchrist 1989:144-147)

Naskah Ma'il dan Mashq :

Jadi naskah Quran macam apa yang digunakan di Hijaz (Arab) pada saat itu? Kita tahu bahwa ada dua naskah Arab awal yang muslim moderen tidak kenali. Kedua naskah itu adalah naskah al-Ma'il, yang dikembangkan di Hijaz, khususnya di Mekah dan Madinah, dan Naskah Mashq, yang juga dikembangkan di Medinah (Lings & Safadi 1976:11; Gilchrist 1989:144-145). Aksara al-Ma'il mulai dipakai pada abad ketujuh dan mudah diidentifikasi, seperti yang ditulis sedikit miring (lihat contoh pada halaman 16 Jam’ Al Quran, Gilchrist -1989). Sebenarnya kata al-Ma'il itu sendiri berarti "miring." Aksara ini bertahan selama sekitar dua abad sebelum akhirnya tidak digunakan sama sekali.

Naskah Mashq juga ditulis pada abad ketujuh, tetapi terus digunakan selama berabad-abad. Naskah ini bercirikan huruf yang lebih horizontal dan dapat dibedakan dengan gaya agak kursif / melengkung dan santai (Gilchrist 1989:144). Jika Al Qur’an telah disusun saat ini pada abad ketujuh, maka kita beranggapan quran pasti ditulis baik dalam aksara Ma'il atau Mashq.

Menariknya, kita memang memiliki Al Qur’an yang ditulis dalam aksara Ma'il, dan dianggap quran yang paling awal di tangan kita hari ini. Namun naskah ini tidak ditemukan entah di Istanbul atau Tashkent, tapi, ironisnya berada di British Library di London (Lings & Safadi 1976:17,20; Gilchrist 1989:16,144). Naskah ini telah dianalisa penanggalannya dan diketahui ditulis di akhir abad kedelapan, oleh Martin Lings, mantan kurator naskah Perpustakaan Inggris, yang adalah seorang Muslim juga. Oleh karena itu, dengan bantuan analisis naskah, kami cukup yakin bahwa tidak ada manuskrip yang diketahui dari Al Qur'an yang kita miliki sekarang yang dapat tanggal dari abad ketujuh (Gilchrist 1989:147-148,153).

Selain itu, hampir semua fragmen manuskrip awal Al-Quran yang kita miliki dan telah diperiksa tanggal kemunculannya, tidak ada dari naskah tersebut yang ditulis dalam jangka waktu 100 tahun setelah kematian Muhammad (pent :Semuanya lebih terkemudian dari 1 abad pertama setelah kematian Muhammad).
Dalam bukunya Kaligrafi dan Kebudayaan Islam, Annemarie Schimmel menggarisbawahi poin ini ketika ia menyatakan : “kecuali naskah Qur'an yang baru-baru ini , semua fragmen dapat ditelusuri kemunculannya sejauh sampai kuartal pertama abad kedelapan. (Schimmels 1984:4) (pent -berarti paling tua hanya muncul sekitar tahun 725 M)

Menariknya, Al Qur’an dari Sanaa ini masih tetap menjadi misteri, karena pemerintah Yaman belum mengijinkan para peneliti Jerman yang menganalisa naskah itu untuk menerbitkan temuan mereka. Mungkinkah ini ada sebuah usaha untuk menutup-nutupi apa yang naskah ini mungkin akan ungkapkan? Ada kesan bahwa naskah dalam Al Qur’an awal abad kedelapan ini tidak sesuai dengan Quran yang kita miliki saat ini. Kita masih menunggu untuk mengetahui seluruh kebenarannya.

Namun dari bukti-bukti yang kita miliki, tampaknya tidak mungkin bahwa bagian-bagian dari Al-Qur'an yang disalin pada jaman Usman selamat. Apa yang tersisa pada kita adalah usaha campur tangan 150 tahun kemudian yang kita tidak dapat jelaskan.

Sebelum melanjutkan topik kita ke Al Qur'an, mari kita kembali ke tradisi Muslim dan melanjutkan diskusi kita pada poin terpenting apakah sumber-sumber awal Qur'an ini dapat memberikan penilaian yang memadai akan otoritas Al-Qur'an. Kumpulan tradisi yang paling banyak digunakan adalah Hadis.

Back to Index


0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money